Kitab Suci, Perkembangan Zaman dan Sikap Kita


Oleh Margareta Areq


Pengantar

Dalam sebuah ulasan menarik berjudul “Digitalisasi Al-Quran: Meninjau Batasan antara yang Sakral dan yang Profan pada Aplikasi Muslim-Pro”, Adinda Putri Sukma (2019), Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Udayana Bali pernah mengulas kedudukan Al-Quran di tengah tuntutan zaman. Ulasan yang dibuat Sukma merujuk pada kesimpulan bahwa perkembangan zaman memberikan nilai plus-minus terhadap penghayatan masyarakat akan nilai-nilai dalam Al-Quran. Dunia digital telah memberikan kemudahan dalam mengakses sejumlah aplikasi yang turut mendukung perkembangan iman umat. 


Sebagai misal, aplikasi Muslim-Pro yang disediakan oleh layanan play store menciptakan kemudahan bagi masyarakat dalam membaca dan merenungkan ayat-ayat dalam Al-Quran. Namun demikian, ada sisi negatif ketika Al-Quran masuk ke dalam dunia digital. Sakralitas Al-Quran akan hilang karena sejumlah konten negatif turut masuk ke dalam aplikasi Muslim-Pro. Jika penelitian tersebut diperluas, maka hal yang sama dapat kita temukan saat membaca ­E-Bible. Meski umat Katolik dengan mudah mengakses E-Bible, namun hal itu tidak menjamin sakralitas Kitab Suci. Orang dengan mudah menonton film porno dan membaca Kitab Suci dalam waktu yang sama. Di lain waktu, orang dapat saja membaca E-Bible di tempat-tempat umum sebagaimana praktik yang sering dibuat oleh Ahli Taurat dan Orang-orang Farisi.


Apa itu Kitab Suci? 

Secara sederhana, Kitab Suci dipahami sebagai kumpulan teks, tulisan atau kitab yang ditulis oleh sekelompok orang pada waktu dan tempat tertentu. Ia disebut suci karena ditulis dalam terang Roh Kudus. Roh Kudus menjadi sumber penerang untuk menggali hakikat Sabda yang menyata dalam kehidupan manusia. Meski ditulis dalam terang Roh Kudus, Kitab Suci tetap bersumber pada kehidupan konkret masyarakat sejak zaman para nabi hingga zaman para rasul.


Dalam Kitab Suci Katolik, terdapat dua gugus besar kitab, yakni Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) dan Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB). Pembagian tersebut dibuat untuk membedakan antara kumpulan kitab yang muncul sejak zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. KSPL mengisahkan tentang sejarah bangsa Israel dan intervensi Allah atas kehidupan mereka. Sejarah Israel yang dimaksudkan di sini berisi penaklukan bangsa Israel atas wilayah Kanaan sampai pembuangan ke Babilonia. Selain berisi sejarah bangsa Isreal, KSPL juga berisi Kitab Puisi dan Hikmat yang mengisahkan beragam bentuk bentuk antara kebaikan dan kejahatan manusia di dunia. 


Berbeda dengan KSPL, KSPB justru lebih berpusat pada sosok Yesus, ajaran-ajarannya dan penerusan pewartaannya oleh para rasul. Yesus menjadi sosok kunci yang berperan mewartakan injil dan menyebarkan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Ia bahkan harus menanggung beban salib dan mati di Golgota untuk menebus dosa umat manusia. Kesakisan hidup Yesus menjadi contoh paling konkret tentang bagaimana umat harus mengambil sikap iman yang benar.


Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan yang mencolok antara Kitab Suci Katolik dan Protestan. Perdedaan tersebut antara lain menyangkut kanonisasi Kitab Suci. Gereja Katolik memiliki 46 jumlah Kitab PL, sedangkan Gereja Protestan hanya memiliki 39 Kitab. Hal ini dikarenakan Gereja Katolik juga mengakui Kitab Deuterokanonika. Proses pengakuan Deuterokanonika sebagai Kitab resmi Gereja bersumber dari catatan sejarah. Ketika orang-orang Isreal mengalami peristiwa pembuangan ke Mesir, mereka kehilangan sejumlah surat yang ditulis oleh para nabi. Suku bangsa Ibrani tidak lagi melihat surat tersebut sebagai bagian integral dari Kitab Suci mereka. Sebaliknya hanya suku bangsa Yunani yang kembali menyatukan surat-surat yang hilang tersebut sebagai bagian integral dalam Kitab Suci. Langkah yang dibuat oleh orang-orang Yunani memberi pengaruh besar bagi Gereja Katolik. Hingga kini, kumpulan surat sebagaimana dibuat oleh bangsa Yunani menjadi Kitab Suci resmi Gereja.


Kitab Suci dan Perkembangan Zaman

Dahulu kala, Kitab Suci yang dipercaya oleh orang-orang Katolik ditulis pada lembar-lembar Papirus dan dikumpulkan menjadi satu buku. Gereja menghargai Kitab Suci bukan sekedar sebagai buku, tetapi juga menjadi dasar bagi pembentukan iman akan Allah. Atas dasar ini, Gereja lalu menjadikan Kitab Suci sebagai sumber iman Katolik sebagaimana Tradisi Gereja dan Magisterium Gereja. Dalam Kitab Suci, semua orang Katolik dapat mengalami perjumpaan secara langsung dengan Allah sebagai dasar iman dan pengharapan. Umat Katolik dapat membaca, mengenal, dan menarik inspirasi dari kehidupan para nabi, para rasul, dan Yesus Kristus sebagai contoh hidup mereka sendiri. 


Sakralitas Kitab Suci sebagaimana dikenal pada zaman dahulu ternyata telah berubah. Di tengah perkembangan zaman, umat Katolik tampaknya lebih senang menggunakan handphone dibanding membaca Kitab Suci. Banyak waktu dihabiskan untuk berselancar di media digital. Konsekuensinya, Kitab Suci ditinggalkan. Umat Katolik tidak lagi membaca Kitab Suci. Pola hidup yang demikian berlangsung secara alamiah karena umat seolah-olah “didesak” untuk mengejar kemajuan tekologi. Sebab, jika tidak mereka hanya menjadi pribadi-pribadi yang tertinggal. 


Menyadari kenyataan ini, orang lalu membuat sebuah platform untuk mengakses Kitab Suci secara daring. Kitab Suci dibuat layaknya aplikasi facebook dan youtube. Tujuannya tetap sama yakni menghendaki agar Kitab Suci dapat digunakan secara luas oleh umat Katolik. Meskipun demikian, sebuah persoalan baru akan muncul yaitu bahwa sakralitas Kitab Suci akan menghilang dalam ruang digital. Umat Katolik yang mengakses E-Bible, misalnya sulit membaca dengan fokus karena diganggu oleh munculnya sejumlah iklan dan konten pornografi. Pemahaman mereka akan terbagi dan makna Kitab Suci sulit ditangkap dengan benar. 


Penutup

Persoalan sebagaimana disebut di atas menjadi refleksi bersama bagi semua orang Katolik untuk menciptakan satu langkah strategis yang tepat. Perkembangan zaman tentu tidak dapat dielak. Di sini, dibutuhkan upaya untuk mengkontekstualisasi kedudukan Kitab Suci di tengah perkembangan zaman. Kotekstualisasi sebagaimana dimaksud berarti usaha untuk menerjemahkan pola-pola lama pengenalan Kitab Suci ke dalam pola-pola yang baru. Jika dahulu, Kitab Suci hanya diwartakan dari atas mimbar, maka sekarang ia harus menjadi buku wajib bagi semua keluarga Katolik. 


Secara individual atau kelompok, orang-orang Katolik diminta membaca Kitab Suci di rumah masing-masing. Selain itu, kreativitas dibutuhkan untuk mendalami pemahaman akan Kitab Suci. Para pelayan pastoral sebisa mungkin mengunjungi umat setiap akhir pekan dan melakukan sharing Kitab Suci. Di sekolah-sekolah agama Katolik, pelajaran Kitab Suci ditetapkan agar anak semakin mengenal Kitab Suci. Lebih lanjut, kreativitas dapat dibuat dengan menciptakan sejumlah perlombaan bernuansa Kitab Suci. Dengan melakukan upaya-upaya ini, maka Kitab Suci akan tetap dikenal meski di tengah gencarnya perkembangan zaman.*


 

2 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama