Atadei dan Kisah-Kisah yang Patut Dikenang


Atadei dan Kisah-Kisah yang Patut Dikenang-Resensi Buku Lame Lusi Lako, oleh Maria Wilhelma Ina Somi, Kelas XI IIS
Identitas Buku

Judul Buku : Lame Lusi Lako

Penulis : Thomas B. Ataladjar

Tempat/Tahun Terbit : Jakarta, 15 Juli 2015

Genre: Sejarah


Sinopsis

Lame Lusi Lako berkisah tentang asal-usul suku Atadei. Thomas memulai ulasannya dengan terlebih dahulu membeberkan legenda terbentuknya suku Atadei. Dalam legenda tersebut diceritakan bahwa suku Atadei mulanya berasal dari Awololo. Orang-orang di pemukiman Awololo berpindah ke Atadei karena diterjang air laut yang dahsyat. Sebagian masyarakat yang selamat melarikan diri ke Atadei. Sebagian lain mencari tempat tempat pengungsian ke tanah Leban Batan. Meski demikian, cerita tentang terbentuknya suku Atadei tidak bisa dilepaspisahkan dari kedatangan sejumlah suku yang lain.


Dalam penelusuran Thomas, suku pertama yang menempati wilayah Atadei adalah Henakin Ate Tuan. Suku ini dikisahkan bersal dari Lepan Batan. Dalam pelariannya dari Lepan Batan, suku Henakin membawah “Ate Tuan” atau seorang ibu. Mereka bermukim di daerah Lerek. Dari Lerek, sebagian masyarakat kemudian memilih hijrah dan bergabung bersama Lusia Tia Lame. Suku kedua adalah Luon yang mengungsi ke Baleo Hakat. 


Menurut cerita, suku Luon juga berhasil dari Lepan Batan. Mereka melarikan diri dari Lepan Batan menuju Atadei setelah kampung halamannya diterjang gelombang laut yang dahsyat. Sebagian lain dari masyarakat suku Luon juga sempat menetap di Tuwe Lange. Suku ketiga adalah suku dari Kedang yakni Melwitin. Suku ini dikisahkan berasal dari Lepan Batan. Namun demikian, mereka tidak lama menetap di tempat itu dan memustuskan untuk pindah dan mencari tempat pemukiman yang aman. Mereka akhirnya tiba di Gero.


Suku kelima adalah Meha Pukei. Suku ini juga berasal dari Lepan Batan. Dalam  pelariannya, suku Meha Pukei akhirnya terdampar di Tuwe Lange. Dari Tuwe Lange, suku ini lalu pindah lagi ke Ory Raya. Rupanya Ori Raya bukan menjadi tempat yang aman bagi mereka. Mereka lalu memutuskan untuk pindah lagi dan menetap di Brenei. Suku keenam adalah Dolun. Suku ini berasal dari Lepan Batan. Saat terjadi bencana, suku Dolun mengungsi dan terdampar di Tuwe Lange. Dari Tuwe Lange, mereka berpindah lagi ke Woloi Wuhun atau Ory Raya demi kehidupan yang lebih aman. Namun demikian, mereka berpindah lagi ke Wai Petu Jawa dan kemudian menetap di Tawa. Suku Dolun kemudian bersama suku lain membentuk Lusi Lia Lame.


Suku ketujuh adalah Laba Nobeng. Suku Nobeng juga berasal dari Lepan Batan. Saat terjadi bencana yang menenggelamkan Lepan Batan, mereka terdampar dan mengungsi di Tuwe Lange. Dari tempat tersebut, mereka berpindah ke Wai Petu Tawa dan bergabung dengan Lusi Lia Lame. Suku kedelapan adalah Namang. Suku Namang juga berasal dari Lepan Batan. Saat terjadi bencana, mereka meninggalkan Lepan Batan dan mencari mori atau kehidupan di tempat baru. Menurut kisah, mereka berlayar dengan perahu secara berkelompok. Dalam pelayaran tersebut, salah satu kelompok terdampar di tanjung Atadei di selatan Leban Batan. Mereka akhirnya menetap di situ. Suku kesembilan adalah suku Nuban. 


Menurut kisah, suku ini berasal dari daratan Timor. Suatu saat terjadi bencana kemarau panjang di kerajaan Ama Nuban. Ketika kekeringan melanda kepulauan Timor, mereka membentuk dua kelompok besar yang dipimpin oleh Pentobo dan Arakian, putera-puteri Ama Nuban. Keduanya memutuskan untuk pergi ke arah matahari terbit. Mereka kemudian terdampar di Lepan Batan dan berlari mencari perlindungan ke Atadei.


Sembilan suku besar sebagaimana dikisahkan di atas adalah suku-suku yang mendiami mendiami wilayah Atadei hingga sekarang. Secara singkat, ada setidaknya delapan suku besar yang berasal dari pulau Lepan Batan dan satu suku dari kepulauan Timor. Dengan model penjelajahan sejarah yang demikian, Thomas sesungguhnya sedang menghadirkan kembali genealogi kehidupan masyarakat suku Atadei sejak zaman dahulu.


Penilaian


Bagi saya, Lame Lusi Lako adalah reportase yang dapat menghantar pembaca untuk mengenal sejarah hidup masyarakat suku Atadei. Perpindahan banyak suku karena bencana alam menjadi titik berangkat dimulainya pembentukan suku Atadei. Bencana, pada titik tertentu menjadi ruang yang menyatukan keanekaragaman suku dan budaya. Bencana yang semula menceraiberaikan manusia ternyata mampu memberi kehidupan yang baru. Dengan membaca Lame Lusi Lako, pembaca dapat merefleksikan sejarah hidupnya sendiri. Selain itu, ia dapat membangun sikap saling menghormati satu terhadap yang lain.


Meski memiliki “keunggulan” sebagaimana disebutkan di atas, buku ini tidak terlepas dari beberapa kekurangan. Sebagaimana buku-buku sejarah umumnya, Lame Lusi Lako seharusnya bisa diperiksa kembali. Fakta tentang suku-suku yang mendiami Atadei harus dicarikan bukti yang kuat demi mendukung akurasi dan validitas data. Selain itu, penulisan kata yang keliru dapat diperhatikan guna memudahkan pemahaman pembaca.


Rekomendasi


Bertolak dari penilaian yang saya buat sebelumnya, maka saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh semua orang yang berminat akan sejarah. Secara khusus, saya mengharapkan agar masyarakat Atadei memiliki Lame Lusi Lako dan menjadikannya sebagai pegangan untuk mengetahui sejarah pembentukan suku mereka. Fakta terkait pembentukan suku Atadei dapat menjadi pengetahuan sekaligus buku kehidupan. Kelak, anak cucu mereka tetap berpijak pada sejarah dan tidak kehilangan arah.*

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama