Oleh Fr. Defri Ngo, SVD, Staf Pengajar pada SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba |
Mengutip hasil survei Program for International Student Assessment
(PISA), tingkat literasi masyarakat Indonesia tergolong rendah. Data tahun
2019 menyebutkan bahwa dari 70 negara, Indonesia menempati urutan ke 62 atau
menjadi 10 negara yang memiliki minat membaca rendah (Heriyanto Retno, 2021).
Dari
34 provinsi di Indonesia, terdapat empat Provinsi yang memiliki tingkat
literasi terendah. Empat provinsi tersebut antara lain, Papua (36,1 persen),
Nusa Tenggara Barat (16,48 persen), Sulawesi Barat (10,33 persen), dan Nusa
Tenggara Timur (10,13 persen).
Rendahnya budaya literasi akan berdampak pada ketertinggalan
pengetahuan dan informasi. Di pihak lain, hoax,
ujaran kebencian dan indoktrinasi berbasis agama dengan mudah mempengaruhi pikiran
masyarakat.
Semuanya disebabkan karena ketiadaan kritisisme dan daya tanggap
terhadap sebuah informasi. Masyarakat menerima informasi tanpa selektivitas dan
menjadikannya serta-merta sebagai pegangan hidup. Khusus di NTT, rendahnya
budaya literasi memiliki latar belakang persoalan yang kompleks. Dibutuhkan suatu
model analisis kritis untuk mencerna akar persoalan dan membangun jalan keluar
yang tepat.
Kompleksitas Persoalan
Rendahnya
budaya literasi di NTT disebabkan oleh persoalan yang kompleks. John Dami Mukese
dalam sebuah artikel bertajuk “Mendongkrak Budaya Membaca di NTT” memetakan
secara jelas persoalan yang melatarbelakangi rendahnya budaya literasi di NTT.
Ia
mengungkapkan bahwa persoalan mentalitas, pengaruh telekomunikasi, sistem
pendidikan dan persoalan ekonomi menjadi penyebab utama rendahnya tingkat
literasi masyarakat (Mukese, 2007).
Secara ringkas, persoalan literasi di NTT disebabkan
oleh dua faktor utama, yakni faktor internal
dan faktor eksternal. Pertama, faktor internal merupakan
penyebab yang timbul dalam diri masyarakat NTT. Mengikuti analisis Mukese,
faktor internal menyangkut mentalitas masyarakat. Mentalitas berarti kebiasaan atau
kecenderungan tertentu yang dihidupi oleh masyarakat.
Di NTT, mentalitas yang
cenderung tumbuh dalam diri masyarakat terwujud dalam perilaku hedonis dan materlialistis.
Hedonis berarti keinginan mencapai kesenangan semata. Masyarakat NTT tidak ragu
mengadakan pesta yang besar dengan pengeluaran biaya yang terbilang lumayan. Meskipun
tergolong masyarakat miskin, pesta bagi mereka menjadi kesempatan mengunjuk
kebolehan. Kebiasaan ini tampak tidak seimbang dengan penghasilan yang
dimiliki.
Selain
hedonis, masyarakat NTT juga bersifat materialistis. Budaya belis yang kuat memberanikan masyarakat
untuk menghutang uang dalam jumlah besar. Belis menghendaki agar pihak keluarga
lelaki memberi uang dan benda sesuai permintaan pihak keluarga perempuan. Terlepas
dari tujuan yang hendak dicapai, belis tentu
menumbuhkan mental materlialistis.
Konsekuensinya, anak terhambat melanjutkan sekolah
karena orang tua masih terkatung-katung dengan hutang pada belis. Kecenderungan materialistis dalam belis tentu membawah dampak serius bagi keberlanjutan nasib anak di
masa depan. Dua model mentalitas sebagaimana disebut menjadi contoh yang
menyebabkan rendahnya budaya literasi.
Kedua, faktor eksternal
yaitu hal-hal di luar individu yang memberi pengaruh baik secara langsung dan
tidak langsung terhadap tumbuhnya budaya literasi. Faktor eksternal dapat
berupa pengaruh telekomunikasi, sistem pendidikan dan persoalan ekonomi. Perlu
ditambahkan di sini yaitu terkait peran serta pemerintah.
Perkembangan
teknologi informasi yang semakin modern membawa persoalan lain. Anak akan
menghabiskan banyak waktu di depan layar handphone
dibanding membaca buku. Akses yang bebas dalam dunia internet membiarkan anak
mencari tahu sendiri informasi yang dibutuhkan. Belum lagi ketiadaan kritisisme
dan selektivitas membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan wawasan dan
pengetahuan anak.
Hal lain adalah model pendidikan di NTT yang tergolong konvensional.
Guru hanya berperan sebagai pengajar dan para murid diharapkan mengerjakan
tugas-tugas sekolah. Literasi sebagai basis penting pengetahuan belum
diperhatikan secara serius di sekolah-sekolah. Selanjutnya, persoalan ekonomi turut
berpengaruh pada pertumbuhan budaya literasi. Anak akan sulit mengakses buku di
toko karena ketiadaan uang. Fakta ini diperburuk oleh minimnya perhatian
pemerintah terhadap literasi di NTT. Pertanyaannya lalu, bagaimana membangun
langkah strategis untuk mewujudkan budaya literasi di NTT?
Kerja Sama Multisektor
Kompleksitas
persoalan yang menghambat pertumbuhan budaya literasi di NTT perlu dilihat
sebagai batu pijakan untuk membangun langkah strategis yang tepat. Pertumbuhan literasi
membutuhkan sinergi dan kerja sama yang serius dari semua lapisan masyarakat.
Literasi
hanya mampu bertumbuh jika masyarakat tergerak untuk membangun langkah konkret bersama.
Sebaliknya, budaya literasi akan mati jika pembicaraan tentangnya hanya
berkutat pada taraf diskursus semata. Dibutuhkan langkah pragmatis untuk mewujudkan
budaya literasi.
Terkait hal ini, maka diperlukan adanya kerjasama multisektor.
Secara sederhana, kerjasama multisektor dipahami sebagai usaha menggalang kerjasama
antara setiap individu dan kelompok masyarakat. Fokus kerjasama tersebut
terararah pada tujuan untuk menciptakan suatu model lingkungan yang literat. Artinya
bahwa kerjasama multisektor harus sampai pada tujuan untuk menjadikan masyarakat
yang literat- sebuah masyarakat di mana individu-individunya memiliki kebiasaan
yang tetap dalam membaca.
Mengutip
Isidorous Lilijawa (2021), gerakan menjadikan NTT sebagai provinsi literasi
mesti menjadi gerakan bersama seluruh elemen: pemerintah, swasta dan
masyarakat. Pemerintah sebagai pemimpin harus berdiri pada garda terdepan untuk
menyuarakan geliat literasi.
Mereka dapat mengakomodasi persediaan buku, perpustakaan
keliling dan perbaikan sarana dan prasarana perpustakaan. Untuk mendukung kerja
tersebut, pihak swasta dapat terlibat dalam membentuk kelompok-kelompok baca di
desa. Mereka dapat menjalin kerja sama dengan sejumlah komunitas “bagi buku”
untuk memperoleh akses buku bacaan. Sementara itu, masyarakat berperan menjadi
penggerak dan pelaku utama untuk mengaktifkan kebiasaan membaca.
Kerjasama
multisektor harus dibuat dalam satu gerakan massif bersama. Secara jelas, Isidorus
Lilijawa (2021) menulis:
“Semua bupati dan
wali kota dipanggil untuk bahas gerakan literasi. Lalu pulang dan berbuat. Mulai
dengan peraturan daerah atau peraturan bupati tentang gerakkan literasi. Mobil-mobil
perpustakaan keliling dioperasikan hingga ke kampung-kampung. APBD harus juga
dipakai untuk membeli buku-buku dan dibagikan ke seluruh sekolah. Di sekolah, setiap
anak diwajibkan membaca sekian judul buku dan membuat intisari. Berlakukan jam
nonton televisi di rumah. Mesti ada jam membaca”.
Kerjasama
multisektor yang dijiwai gerakan massif bersama akan berdampak konstruktif bagi
pembentukan budaya literasi di NTT. Di kemudian hari, masyarakat NTT akan
disebut sebagai kelompok masyarakat literat. Ia maju dalam pengetahuan dan beradab
dalam moralitas.
Simpulan
Literasi
merupakan jendela dunia. Kebiasaan membaca buku akan membentuk wawasan dan pengetahuan
bagi seluruh masyarakat NTT. Mereka akan menjadikan buku sebagai nutrisi dalam
hidup. Di sini, dibutuhkan kerjasama multisektor yang dijiwai oleh gerakan
massif bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan adanya gerakan
ini, maka kelak masyarakat NTT akan menjadi perpustakaan yang hidup. Mereka
adalah cahaya kebangkitan NTT.*
Fr. Defri Ngo, SVD atau lengkapnya
Petrus Fidelis Ngo adalah alumni IFTK Ledalero. Sekarang sedang menjalankan Tahun
Orientasi Pastoral (TOP) di SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba. Untuk berhubungan
dengan Defri, bisa kontak no WA 081353679916.
Posting Komentar