Kerja Sama Multisektor sebagai Upaya Membangun Budaya Literasi di NTT

Oleh Fr. Defri Ngo, SVD, Staf Pengajar pada SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba
Dalam sebuah siaran pers memperingati Hari Buku Nasional, Senin 17 Mei 2021, Abdul Muhaimin Iskandar selaku Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra menyampaikan laporan terkait perkembangan budaya literasi di Indonesia. 

Mengutip hasil survei Program for International Student Assessment (PISA), tingkat literasi masyarakat Indonesia tergolong rendah. Data tahun 2019 menyebutkan bahwa dari 70 negara, Indonesia menempati urutan ke 62 atau menjadi 10 negara yang memiliki minat membaca rendah (Heriyanto Retno, 2021).

Dari 34 provinsi di Indonesia, terdapat empat Provinsi yang memiliki tingkat literasi terendah. Empat provinsi tersebut antara lain, Papua (36,1 persen), Nusa Tenggara Barat (16,48 persen), Sulawesi Barat (10,33 persen), dan Nusa Tenggara Timur (10,13 persen). 

Rendahnya budaya literasi akan berdampak pada ketertinggalan pengetahuan dan informasi. Di pihak lain, hoax, ujaran kebencian dan indoktrinasi berbasis agama dengan mudah mempengaruhi pikiran masyarakat. 

Semuanya disebabkan karena ketiadaan kritisisme dan daya tanggap terhadap sebuah informasi. Masyarakat menerima informasi tanpa selektivitas dan menjadikannya serta-merta sebagai pegangan hidup. Khusus di NTT, rendahnya budaya literasi memiliki latar belakang persoalan yang kompleks. Dibutuhkan suatu model analisis kritis untuk mencerna akar persoalan dan membangun jalan keluar yang tepat.

Kompleksitas Persoalan


Rendahnya budaya literasi di NTT disebabkan oleh persoalan yang kompleks. John Dami Mukese dalam sebuah artikel bertajuk “Mendongkrak Budaya Membaca di NTT” memetakan secara jelas persoalan yang melatarbelakangi rendahnya budaya literasi di NTT. 

Ia mengungkapkan bahwa persoalan mentalitas, pengaruh telekomunikasi, sistem pendidikan dan persoalan ekonomi menjadi penyebab utama rendahnya tingkat literasi masyarakat (Mukese, 2007).

Secara ringkas, persoalan literasi di NTT disebabkan oleh dua faktor utama, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Pertama, faktor internal merupakan penyebab yang timbul dalam diri masyarakat NTT. Mengikuti analisis Mukese, faktor internal menyangkut mentalitas masyarakat. Mentalitas berarti kebiasaan atau kecenderungan tertentu yang dihidupi oleh masyarakat. 

Di NTT, mentalitas yang cenderung tumbuh dalam diri masyarakat terwujud dalam perilaku hedonis dan materlialistis. Hedonis berarti keinginan mencapai kesenangan semata. Masyarakat NTT tidak ragu mengadakan pesta yang besar dengan pengeluaran biaya yang terbilang lumayan. Meskipun tergolong masyarakat miskin, pesta bagi mereka menjadi kesempatan mengunjuk kebolehan. Kebiasaan ini tampak tidak seimbang dengan penghasilan yang dimiliki.

Selain hedonis, masyarakat NTT juga bersifat materialistis. Budaya belis yang kuat memberanikan masyarakat untuk menghutang uang dalam jumlah besar. Belis menghendaki agar pihak keluarga lelaki memberi uang dan benda sesuai permintaan pihak keluarga perempuan. Terlepas dari tujuan yang hendak dicapai, belis tentu menumbuhkan mental materlialistis. 

Konsekuensinya, anak terhambat melanjutkan sekolah karena orang tua masih terkatung-katung dengan hutang pada belis. Kecenderungan materialistis dalam belis tentu membawah dampak serius bagi keberlanjutan nasib anak di masa depan. Dua model mentalitas sebagaimana disebut menjadi contoh yang menyebabkan rendahnya budaya literasi.

Kedua, faktor eksternal yaitu hal-hal di luar individu yang memberi pengaruh baik secara langsung dan tidak langsung terhadap tumbuhnya budaya literasi. Faktor eksternal dapat berupa pengaruh telekomunikasi, sistem pendidikan dan persoalan ekonomi. Perlu ditambahkan di sini yaitu terkait peran serta pemerintah. 

Perkembangan teknologi informasi yang semakin modern membawa persoalan lain. Anak akan menghabiskan banyak waktu di depan layar handphone dibanding membaca buku. Akses yang bebas dalam dunia internet membiarkan anak mencari tahu sendiri informasi yang dibutuhkan. Belum lagi ketiadaan kritisisme dan selektivitas membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan wawasan dan pengetahuan anak.

Hal lain adalah model pendidikan di NTT yang tergolong konvensional. Guru hanya berperan sebagai pengajar dan para murid diharapkan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Literasi sebagai basis penting pengetahuan belum diperhatikan secara serius di sekolah-sekolah. Selanjutnya, persoalan ekonomi turut berpengaruh pada pertumbuhan budaya literasi. Anak akan sulit mengakses buku di toko karena ketiadaan uang. Fakta ini diperburuk oleh minimnya perhatian pemerintah terhadap literasi di NTT. Pertanyaannya lalu, bagaimana membangun langkah strategis untuk mewujudkan budaya literasi di NTT?

Kerja Sama Multisektor

Kompleksitas persoalan yang menghambat pertumbuhan budaya literasi di NTT perlu dilihat sebagai batu pijakan untuk membangun langkah strategis yang tepat. Pertumbuhan literasi membutuhkan sinergi dan kerja sama yang serius dari semua lapisan masyarakat. 

Literasi hanya mampu bertumbuh jika masyarakat tergerak untuk membangun langkah konkret bersama. Sebaliknya, budaya literasi akan mati jika pembicaraan tentangnya hanya berkutat pada taraf diskursus semata. Dibutuhkan langkah pragmatis untuk mewujudkan budaya literasi. 

Terkait hal ini, maka diperlukan adanya kerjasama multisektor. Secara sederhana, kerjasama multisektor dipahami sebagai usaha menggalang kerjasama antara setiap individu dan kelompok masyarakat. Fokus kerjasama tersebut terararah pada tujuan untuk menciptakan suatu model lingkungan yang literat. Artinya bahwa kerjasama multisektor harus sampai pada tujuan untuk menjadikan masyarakat yang literat- sebuah masyarakat di mana individu-individunya memiliki kebiasaan yang tetap dalam membaca.

Mengutip Isidorous Lilijawa (2021), gerakan menjadikan NTT sebagai provinsi literasi mesti menjadi gerakan bersama seluruh elemen: pemerintah, swasta dan masyarakat. Pemerintah sebagai pemimpin harus berdiri pada garda terdepan untuk menyuarakan geliat literasi. 

Mereka dapat mengakomodasi persediaan buku, perpustakaan keliling dan perbaikan sarana dan prasarana perpustakaan. Untuk mendukung kerja tersebut, pihak swasta dapat terlibat dalam membentuk kelompok-kelompok baca di desa. Mereka dapat menjalin kerja sama dengan sejumlah komunitas “bagi buku” untuk memperoleh akses buku bacaan. Sementara itu, masyarakat berperan menjadi penggerak dan pelaku utama untuk mengaktifkan kebiasaan membaca. 

Kerjasama multisektor harus dibuat dalam satu gerakan massif bersama. Secara jelas, Isidorus Lilijawa (2021) menulis:

“Semua bupati dan wali kota dipanggil untuk bahas gerakan literasi. Lalu pulang dan berbuat. Mulai dengan peraturan daerah atau peraturan bupati tentang gerakkan literasi. Mobil-mobil perpustakaan keliling dioperasikan hingga ke kampung-kampung. APBD harus juga dipakai untuk membeli buku-buku dan dibagikan ke seluruh sekolah. Di sekolah, setiap anak diwajibkan membaca sekian judul buku dan membuat intisari. Berlakukan jam nonton televisi di rumah. Mesti ada jam membaca”.
Kerjasama multisektor yang dijiwai gerakan massif bersama akan berdampak konstruktif bagi pembentukan budaya literasi di NTT. Di kemudian hari, masyarakat NTT akan disebut sebagai kelompok masyarakat literat. Ia maju dalam pengetahuan dan beradab dalam moralitas.

Simpulan

Literasi merupakan jendela dunia. Kebiasaan membaca buku akan membentuk wawasan dan pengetahuan bagi seluruh masyarakat NTT. Mereka akan menjadikan buku sebagai nutrisi dalam hidup. Di sini, dibutuhkan kerjasama multisektor yang dijiwai oleh gerakan massif bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan adanya gerakan ini, maka kelak masyarakat NTT akan menjadi perpustakaan yang hidup. Mereka adalah cahaya kebangkitan NTT.*

 

Fr. Defri Ngo, SVD atau lengkapnya Petrus Fidelis Ngo adalah alumni IFTK Ledalero. Sekarang sedang menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba. Untuk berhubungan dengan Defri, bisa kontak no WA 081353679916.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama